Kamis, 24 September 2015

pendidikan anak shaleh di bidang aqidah

Tugas makalah
Aik iv (al-islam dan kemuhammadiyahan)

Tentang

Pendidikan Anak Shaleh di Bidang Aqidah














OLEH :

AMELIA AGITA
NPM.131000284202001

RAHMA DILTA AZIZI
NPM.131000284202012

SILKA PUTRI
NPM. 131000284202018

YELSI MARSELIA
NPM. 131000284202018


DOSEN PEMBIMBING : Drs. Zuhasni Hasan.,M.Pd.


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
PADANGPANJANG
2015

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendidikan
Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda, berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial penting yang berfungsi mentransformasikan keadaan suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Keterkaitan pendidikan dengan keadaan sosial sangat erat sehingga pendidikan mungkin mengalami proses spesialisasi dan institusionalisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang kompleks dan modern. Meskipun demikian, proses pendidikan secara menyeluruh tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan informal yang berlangsung di luar sekolah.21
Sedangkan menurut Omar Muhammad Ath-Thaumy Asy-Syaibany,sebagaimana dikutp Hasan Basri dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam; Pendidikan sebagai perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tataran tingkah laku individu maupun pada tataran kehidupan sosial, serta pada tataran relasi dengan alam sekitar; atau pengajaran sebagai aktivitas asasi, dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi dalam masyarakat. Pendidikan memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Disamping itu, pendidikan juga menekankan aspek produktivitas dan kreativitas manusia sehingga mereka dapat berperan serta berprofesi dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan dalam arti mengajarkan segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik terhadap aktivitas jasmaniyah, pikiran-pikirannya, maupun terhadap ketajaman dan kelembutan hati nuraninya.
B.   Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Aqidah Dalam Islam
a.      Pengertian aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata (  عقد) yang berarti ikatan. Secara istilah adalah keyakinan hati atas sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah yang sesat atau menyimpang.
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab radiyallahu anha  yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.
b.      Tujuan aqidah
a) Memupuk dan mengembangkan dasar ketuhanan yang sejak lahir. Manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Sejak dilahirkan manusia terdorong mengakui adanya Tuhan. Firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 172-173 yang artinya “Dan (Ingatlah), ketika Tuhanmu menguluarkan kehinaan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu? “, mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami jadi saksi” (Kami lakukan yang demikian itu), agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan tuhan)” atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” Dengan naluri ketuhanan, manusia berusaha untuk mencari tuhannya, kemampuan akal dan ilmu yang berbeda-beda memungkinkan manusia akan keliru mengerti tuhan. Dengan aqidah akhlak, naluri atau kecenderungan manusia akan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dapat berkembang dengan benar
b) Aqidah akhlak bertujuan pula membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seseorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik ketika berhubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan. Oleh karena itu, perwujudan dari pribadi muslim yang luhur berupa tindakan nyata menjadi tujuan dalam aqidah akhlak.
c) Menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia diberi kelebihan oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran. Pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran yang semata-mata didasarkan atas akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, akal pikiran perlu dibimbing oleh aqidah akhlak agar manusia terbebas atau terhindar dari kehidupan yang sesat.
c.       Kedudukan aqidah dalam islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah subahanahu wata`ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah subahanahu wata`ala juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi wasalam berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
C.  Hal – hal yang merusak aqidah
1.      Hal yang pertama adalah Kufur Dan Kafir

Dari segi bahasa kufur berasal dari kata Arab: kufr, yang berarti menutupi sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu kebaikan yang telah diterima, dan atau tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterima. Orangnya disebut kafir, bentuk jamaknya adalah kafirun atau kuffar. Dalam perkataan sehari-hari, kata kafir agaknya lebih lazim dipakai dari kata kufur, meskipun kata kafir sering disebut untuk menunjuk sesuatu yang bermakna kufur.
Sedangkan dari segi istilah kufur sering diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang menolak, menentang, mendstkan dan mengingkari kebenaran dari allah yang disampaikan oleh rasul-Nya. Dalam al-Qur’an kata kufur mengacu kepada perbuatan yang ada hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, sikap atau perbuatan yang termasuk dalam kategori kufur ini, antara lain dapat diidentifikasi seperti:
a) Mengingkari nikmat dan beberapa karunia Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya. Ini ditemukan dalam QS An-Nahl: 55 dan QS ar-Rum: 34.
b) Lari dari tanggung jawab atau berlepas diri dari suatu perbuatan. Ini ditemukan dalam QS Ibrahim:22.
c) Pembangkangan atau penolakan terhadap hukum-hukum Tuhan. Ini ditemukan dalam QS al-Maidah:44.
d) Meninggalkan amal salih yang diperintahkan Tuhan. Ini ditemukan dalam QS ar-Rum: 44.
2.      Hal yang kedua adalah Syirik

Kata syirik berasal dari kata Arab syirk yang berarti sekutu atau persekutuan. Dalam istilah ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti mempersekutukan tuhan lain dengan Allah, baik persekutuan itu mengenai zat-Nya, sifat-Nya atau af’al-Nya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya ditujukan hanya kepada-Nya saja. Ini dapat dilihat dalam QS az-zumar: 38, Al-Ankabut: 63, dan al-zukhruf: 87.

Percaya kepada Allah tidaklah dengan sendirinya berarti iman atau tauhid. Sebab iman kepada Allah itu tidaklah cukup dalam arti hanya percaya kepada-Nya saja, melainkan mencakup pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia. Oleh karena itu orang-orang Arab sebelum Islam, kendati mereka sudah percaya kepada Allah, bahwa yang menciptakan alam raya, yang menurunkan hujan dan bahkan yang menciptakan manusia seluruh jagat tersebut adalah Allah swt, mereka tidak bisa disebut sebagai orang yang beriman, karena kepercayaan mereka kepada Allah masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain selain Allah dalam keilahian-Nya. Oleh sebab itulah mereka disebut sebagai kaum musyrik sebagai anti tesis dari kaum yang bertauhid.
3.      Hal yang ketiga adalah Riddah dan Murtad

Kata riddah, makna asalnya kembali (ke tempat atau jalan semula). Sedangkan kata murtad adalah untuk menyebut pelakunya. Pengertian ini mencakup keluar dari iman dan kembali kepada kekafiran. Secara istilah murtad didefinisikan sebagai seseorang yang secara sadar (tanpa paksaan) keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkanya menjadi kafir, pindah kepada agama lain atau tidak beragama sama sekali.
Dalam hubungan ini, bila seseorang yang mulutnya menyatakan keluar dari agama Islam karena dipaksa oleh orang lain – seperti diancam hendak dibunuh – sementara hatinya tetap beriman, maka ia tidak termasuk golongan yang murtad. Ini dapat dilihat dalam QS An-Nahl: 106. 
4.      Hal yang keempat adalah Bid’ah

Arti bid’ah menurut bahasa ialah segala macam apa saja yang baru, atau mengadakan sesuatu yang tidak berdasarkan contoh yang sudah ada. Sedangkan arti bid’ah secara istilah adalah mengada-adakan sesuatu dalam agama islam yang tidak dijumpai keteranganya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

5.      Hal yang kelima adalah Khurafat

Kata khurafat berasal dari bahas arab: al-khurafat yang berarti dongeng, legenda, kisah, cerita bohong, asumsi, dugaan, kepercayaan dan keyakinan yang tidak masuk akal, atau akidah yang tidak benar. Mengingat dongeng, cerita, kisah dan hal-hal yang tidak masuk akal di atas umumnya menarik dan mempesona, maka khurafat juga disebut “al-hadis al-mustamlah min al-kidb”, cerita bohong yang menarik dan mempesona.
Sedangkan secara istilah, khurafat adalah suatu kepercayaan, keyakinan, pandangan dan ajaran yang sesungguhnya tidak memiliki dasar dari agama tetapi diyakini bahwa hal tersebut berasal dan memiliki dasar dari agama. Dengan demikian, bagi umat Islam, ajaran atau pandangan, kepercayaan dan keyakinan apa saja yang dipastikan ketidakbenaranya atau yang jelas – jelas bertentangan dengan ajaran al-qur’an dan Hadis nabi, dimasukan dalam kategori khurafat. 
6.      Hal yang keenam adalah Tahayul

Kata tahayul berasal dari bahasa Arab, al-tahayul yang bermakna reka-rekaan, persangkaan, dan khayalan. Sementara secara istilah, tahayul adalah kepercayaan terhadap perkara ghaib, yang kepercayaan itu hanya didasarkan pada kecerdikan akal, bukan didasarkan pada sumber Islam, baik al-Qur’an maupun al-hadis.

7.      Hal yang ketujuh adalah Nifaq Atau Munafiq

Nifaq secara bahasa berasal dari kata Arab na-fi-qa-u, yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu (hewan sejenis tikus) dari sarangnya. Nifaq juga dikatakan berasal dari kata na-fa-qa, yaitu lubang tempat bersembunyi. Sementara menurut syara, nifaq berarti menampakan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.
Nifaq dibedakan dalam dua jenis yaitu nifaq I’tiqadiy dan nifaq ‘amaliy. 
Pertama: Nifaq I’tiqadiy (keyakinan) atau nifaq besar, dimana pelakunya menampakan keislaman, akan tetapi menyembunyikan kekufuran. Orang yang termasuk nifaq ini berarti ia keluar dari agama dan dia berada di dalam kerak neraka.

Kedua, Nifaq Amaly (perbuatan), yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafik, akan tetapi masih ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak membawa pelakunya keluar dari agama, akan tetapi bisa menjadi wasilah (perantara) bagi pelakunya keluar dari agama jika dia melakukan perbuatan nifaq secara terus menerus.

D.  Bagaimana Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan
Perspektif  al-qur’an tentang tanggung jawab orangtua
A.     Ayat-Ayat Tentang Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan ditinjau dari  Al-Qur’an Terjemahan DEPAG
Al-Qur’an tidak secara langsung mengemukakan tentang tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan, namun perintah atau statemen tersebut tersirat dalam beberapa ayat yang mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam makalah ini,penulis hanya mengambil beberapa sampel saja, karena tidak mungkin penulis membahas secara detail semua ayat tarbiyah. Berikut ini ayat yang menunjukkan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan:
Q.S.at-Tahrim/66:6

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”( Q.S.at-Tahrim/66:6

E.  Bagaimanakah Konsep Anak Shaleh Menurut Pandangan Agama Islam
Menurut Islam anak shaleh adalah anak yang memiliki sikap keagamaan yang baik, dan selalu patuh dan taat dalam menjalankan perintah Allah dan perintah kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, anak shaleh menjadi dambaan setiap keluarga Muslim, karena ia menjadi jaminan kebahagian huidup rumah tangga dan pewaris keturunan yang berkualitas. Dengan begitu, anak shaleh merupakan profil anak yang dididik secara Islami demi kebahagian hidup didunia dan diakhirat.

F.   Peranan Aqidah Dalam Pembentukan Anak Shaleh
Karena pengenalan aqidah seorang anak telah ada sejak dalam rahim, maka pembinaan aqidah anak itu lahir. Pembinaan tersebut dilanjutkan ketika anak lahir dalam menjalani hidup. Orang tua tersebut menjadi unsur yang menentukan dalam pembinaan aqidah anaknya. Dalam pada itu, aqidah Islam memegang peranan penting dalam pembentukan anak shaleh. Sebab mantapnya aqidah seorang anak akan menjamin ketaatannya dalm menjalankan perintah agama dan berbaktinya kepada orang tuanya.
Pada bidang aqidah, meskipun anak usia dini belum layak untuk diajak berpikir tentang hakikat Tuhan, malaikat, nabi (rasul), kitab suci, hari akhir, dan qadha dan qadar, tetapi anak usia dini sudah dapat diberi pendidikan awal tentang aqidah (rukun Iman). Pendidikan awal tentang aqidah, bisa saja diberikan  materi yang berupa mengenal nama-nama Allah dan ciptaan-Nya yang ada di sekitar kehidupan anak, nama-nama malaikat, kisah-kisah Nabi dan Rasul, dan materi dasar lainnya yang berkaitan dengan aqidah (rukun Iman). Di antara yang dapat dilakukan dalam memberi pendidikan aqidah kepada anak ialah dengan cara mengazankan anak yang baru lahir, sebagaimana diperintahkan rasul dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ[12]
Artinya: Dari Abu Rafi’, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW ażan sebagaimana ażan şalat, di telinga Husain bin Ali ketika Fathimah melahirkannya”(R. at-Tirmiżi)

G. Faktor-Faktor Apa Saja Yang Dapat Menghambat Dan Menunjang Pembinaan Anak Shaleh
Adapun faktor - faktor yang dapat menghambat dalam pembinaan anak shaleh terdiri dari faktor intern yaitu lingkungan keluarga anak tersebut dimulai dari faktor orang tuanya yang kurang memberi perhatian. Ayah dan ibunya tidak memiliki pengetahuan agama yang baik dalam mendidik anak tersebut menjadi anak shaleh begitu pula anggota keluarga yang lain tidak berusaha untuk membinanya secara Islami. faktor ekstern, yaitu lingkungan masyarakat disekitarnya disebabkan oleh pengaruh lingkungan social yang bobrok. Setiap saat anak tersebut selalu menyaksikan model pergaulan bebas yang tidak Islami, sehingga dia sendiri akhirnya sulit untuk menghindarkan diri dari lingkungan osialnya yang tidak baik itu. Sebaliknya lingkungan keluarga dimulai dari orang tua yang shaleh, diiringi oleh semua anggota keluarga dalam rumah tangga itu yang taat dalam menjalankan agamanya menjadi faktor yang menunjang bagi pembinaan anak shaleh. Dalam pada itu, anak tersebut hidup dalam masyarakat religius dan bermoral tinggi menjadi pula faktor yang menentukan pula dalam pembinaan anak shaleh.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar