Aik iv (al-islam dan kemuhammadiyahan)
Tentang
Pendidikan Anak Shaleh di Bidang Aqidah
OLEH :
AMELIA
AGITA
NPM.131000284202001
RAHMA
DILTA AZIZI
NPM.131000284202012
SILKA
PUTRI
NPM.
131000284202018
YELSI MARSELIA
NPM. 131000284202018
DOSEN
PEMBIMBING : Drs. Zuhasni Hasan.,M.Pd.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
PADANGPANJANG
2015
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik,
dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya
memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda, berarti
proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Pendidikan
adalah suatu aktivitas sosial penting yang berfungsi mentransformasikan keadaan
suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Keterkaitan pendidikan dengan
keadaan sosial sangat erat sehingga pendidikan mungkin mengalami proses
spesialisasi dan institusionalisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
kompleks dan modern. Meskipun demikian, proses pendidikan secara menyeluruh
tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan informal yang berlangsung di luar
sekolah.21
Sedangkan
menurut Omar Muhammad Ath-Thaumy Asy-Syaibany,sebagaimana dikutp Hasan Basri
dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam;
Pendidikan sebagai perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses
pendidikan, baik pada tataran tingkah laku individu maupun pada tataran
kehidupan sosial, serta pada tataran relasi dengan alam sekitar; atau
pengajaran sebagai aktivitas asasi, dan sebagai proporsi di antara
profesi-profesi dalam masyarakat. Pendidikan memfokuskan perubahan tingkah laku
manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Disamping itu, pendidikan juga
menekankan aspek produktivitas dan kreativitas manusia sehingga mereka dapat
berperan serta berprofesi dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan
dalam arti mengajarkan segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia,
baik terhadap aktivitas jasmaniyah, pikiran-pikirannya, maupun terhadap
ketajaman dan kelembutan hati nuraninya.
B. Pengertian,
Tujuan Dan Kedudukan Aqidah Dalam Islam
a. Pengertian
aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata ( عقد)
yang berarti ikatan. Secara istilah adalah keyakinan hati atas sesuatu. Kata
‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan
dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah
aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah
yang sesat atau menyimpang.
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah
al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa
yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal
ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Shahabat Umar bin Khathab radiyallahu anha yang dikenal dengan ‘Hadits
Jibril’.
b. Tujuan
aqidah
a) Memupuk
dan mengembangkan dasar ketuhanan yang sejak lahir. Manusia adalah makhluk
yang berketuhanan. Sejak dilahirkan manusia terdorong mengakui adanya
Tuhan. Firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 172-173 yang artinya “Dan
(Ingatlah), ketika Tuhanmu menguluarkan kehinaan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka,
seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu? “, mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami jadi saksi” (Kami lakukan
yang demikian itu), agar dihari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (Keesaan tuhan)” atau agar kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan
Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang
(datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan
kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” Dengan naluri
ketuhanan, manusia berusaha untuk mencari tuhannya, kemampuan akal dan
ilmu yang berbeda-beda memungkinkan manusia akan keliru mengerti tuhan.
Dengan aqidah akhlak, naluri atau kecenderungan manusia akan keyakinan
adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dapat berkembang dengan benar
b) Aqidah
akhlak bertujuan pula membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia.
Seseorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji,
baik ketika berhubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, makhluk
lainnya serta dengan alam lingkungan. Oleh karena itu, perwujudan dari
pribadi muslim yang luhur berupa tindakan nyata menjadi tujuan dalam
aqidah akhlak.
c) Menghindari
diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia diberi kelebihan
oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran. Pendapat-pendapat
atau pikiran-pikiran yang semata-mata didasarkan atas akal manusia,
kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, akal
pikiran perlu dibimbing oleh aqidah akhlak agar manusia terbebas atau
terhindar dari kehidupan yang sesat.
c. Kedudukan aqidah dalam islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang
sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan
ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun
di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat
rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau
menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur
berantakan.
Maka, aqidah yang benar
merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal.
Allah subahanahu wata`ala berfirman,
فَمَنْ
كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal
shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah subahanahu wata`ala juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan
sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika
engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan
kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar:
65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka
para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah,
sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi wasalam berdakwah dan
mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai
aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama
kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang
merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat.
Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat,
sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan
Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat
dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang
lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa
penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
C.
Hal – hal yang merusak aqidah
1. Hal yang pertama adalah Kufur Dan
Kafir
Dari segi
bahasa kufur berasal dari kata Arab: kufr, yang berarti menutupi sesuatu, atau
menyembunyikan sesuatu kebaikan yang telah diterima, dan atau tidak berterima
kasih atas kebaikan yang diterima. Orangnya disebut kafir, bentuk jamaknya
adalah kafirun atau kuffar. Dalam perkataan sehari-hari, kata kafir agaknya
lebih lazim dipakai dari kata kufur, meskipun kata kafir sering disebut untuk
menunjuk sesuatu yang bermakna kufur.
Sedangkan
dari segi istilah kufur sering diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang
menolak, menentang, mendstkan dan mengingkari kebenaran dari allah yang
disampaikan oleh rasul-Nya. Dalam al-Qur’an kata kufur mengacu kepada perbuatan
yang ada hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, sikap atau perbuatan yang
termasuk dalam kategori kufur ini, antara lain dapat diidentifikasi seperti:
a) Mengingkari nikmat dan beberapa
karunia Tuhan dan tidak berterima kasih kepada-Nya. Ini ditemukan dalam QS
An-Nahl: 55 dan QS ar-Rum: 34.
b) Lari dari tanggung jawab atau
berlepas diri dari suatu perbuatan. Ini ditemukan dalam QS Ibrahim:22.
c) Pembangkangan atau penolakan
terhadap hukum-hukum Tuhan. Ini ditemukan dalam QS al-Maidah:44.
d)
Meninggalkan amal salih yang diperintahkan Tuhan. Ini ditemukan dalam QS
ar-Rum: 44.
2. Hal yang kedua adalah Syirik
Kata syirik
berasal dari kata Arab syirk yang berarti sekutu atau persekutuan. Dalam
istilah ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti mempersekutukan tuhan lain
dengan Allah, baik persekutuan itu mengenai zat-Nya, sifat-Nya atau af’al-Nya,
maupun mengenai ketaatan yang seharusnya ditujukan hanya kepada-Nya saja. Ini
dapat dilihat dalam QS az-zumar: 38, Al-Ankabut: 63, dan al-zukhruf: 87.
Percaya
kepada Allah tidaklah dengan sendirinya berarti iman atau tauhid. Sebab iman
kepada Allah itu tidaklah cukup dalam arti hanya percaya kepada-Nya saja,
melainkan mencakup pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai
itu dan bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia.
Oleh karena itu orang-orang Arab sebelum Islam, kendati mereka sudah percaya
kepada Allah, bahwa yang menciptakan alam raya, yang menurunkan hujan dan
bahkan yang menciptakan manusia seluruh jagat tersebut adalah Allah swt, mereka
tidak bisa disebut sebagai orang yang beriman, karena kepercayaan mereka kepada
Allah masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain selain Allah dalam
keilahian-Nya. Oleh sebab itulah mereka disebut sebagai kaum musyrik sebagai
anti tesis dari kaum yang bertauhid.
3. Hal yang ketiga adalah Riddah dan
Murtad
Kata riddah,
makna asalnya kembali (ke tempat atau jalan semula). Sedangkan kata murtad
adalah untuk menyebut pelakunya. Pengertian ini mencakup keluar dari iman dan
kembali kepada kekafiran. Secara istilah murtad didefinisikan sebagai seseorang
yang secara sadar (tanpa paksaan) keluar dari agama Islam dalam bentuk niat,
perkataan, atau perbuatan yang menyebabkanya menjadi kafir, pindah kepada agama
lain atau tidak beragama sama sekali.
Dalam
hubungan ini, bila seseorang yang mulutnya menyatakan keluar dari agama Islam
karena dipaksa oleh orang lain – seperti diancam hendak dibunuh – sementara
hatinya tetap beriman, maka ia tidak termasuk golongan yang murtad. Ini dapat
dilihat dalam QS An-Nahl: 106.
4. Hal yang keempat adalah Bid’ah
Arti bid’ah
menurut bahasa ialah segala macam apa saja yang baru, atau mengadakan sesuatu
yang tidak berdasarkan contoh yang sudah ada. Sedangkan arti bid’ah secara
istilah adalah mengada-adakan sesuatu dalam agama islam yang tidak dijumpai
keteranganya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
5. Hal yang kelima adalah Khurafat
Kata
khurafat berasal dari bahas arab: al-khurafat yang berarti dongeng, legenda,
kisah, cerita bohong, asumsi, dugaan, kepercayaan dan keyakinan yang tidak
masuk akal, atau akidah yang tidak benar. Mengingat dongeng, cerita, kisah dan
hal-hal yang tidak masuk akal di atas umumnya menarik dan mempesona, maka
khurafat juga disebut “al-hadis al-mustamlah min al-kidb”, cerita bohong yang
menarik dan mempesona.
Sedangkan
secara istilah, khurafat adalah suatu kepercayaan, keyakinan, pandangan dan
ajaran yang sesungguhnya tidak memiliki dasar dari agama tetapi diyakini bahwa
hal tersebut berasal dan memiliki dasar dari agama. Dengan demikian, bagi umat
Islam, ajaran atau pandangan, kepercayaan dan keyakinan apa saja yang
dipastikan ketidakbenaranya atau yang jelas – jelas bertentangan dengan ajaran
al-qur’an dan Hadis nabi, dimasukan dalam kategori khurafat.
6. Hal yang keenam adalah Tahayul
Kata tahayul
berasal dari bahasa Arab, al-tahayul yang bermakna reka-rekaan, persangkaan,
dan khayalan. Sementara secara istilah, tahayul adalah kepercayaan terhadap
perkara ghaib, yang kepercayaan itu hanya didasarkan pada kecerdikan akal,
bukan didasarkan pada sumber Islam, baik al-Qur’an maupun al-hadis.
7. Hal yang ketujuh adalah Nifaq Atau
Munafiq
Nifaq secara
bahasa berasal dari kata Arab na-fi-qa-u, yaitu salah satu lubang tempat
keluarnya yarbu (hewan sejenis tikus) dari sarangnya. Nifaq juga dikatakan
berasal dari kata na-fa-qa, yaitu lubang tempat bersembunyi. Sementara menurut
syara, nifaq berarti menampakan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan
kekufuran dan kejahatan.
Nifaq dibedakan dalam dua jenis yaitu nifaq I’tiqadiy
dan nifaq ‘amaliy.
Pertama: Nifaq I’tiqadiy (keyakinan)
atau nifaq besar, dimana pelakunya menampakan keislaman, akan tetapi
menyembunyikan kekufuran. Orang yang termasuk nifaq ini berarti ia keluar dari
agama dan dia berada di dalam kerak neraka.
Kedua, Nifaq Amaly (perbuatan),
yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafik, akan
tetapi masih ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak membawa pelakunya
keluar dari agama, akan tetapi bisa menjadi wasilah (perantara) bagi pelakunya
keluar dari agama jika dia melakukan perbuatan nifaq secara terus menerus.
D.
Bagaimana
Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan
Perspektif al-qur’an tentang tanggung jawab orangtua
A.
Ayat-Ayat Tentang Tanggung
Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan ditinjau dari Al-Qur’an Terjemahan DEPAG
Al-Qur’an tidak secara langsung mengemukakan tentang tanggung jawab orang
tua terhadap pendidikan, namun perintah atau statemen tersebut tersirat dalam
beberapa ayat yang mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam makalah ini,penulis
hanya mengambil beberapa sampel saja, karena tidak mungkin penulis membahas
secara detail semua ayat tarbiyah. Berikut ini ayat yang menunjukkan
tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan:
Q.S.at-Tahrim/66:6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ (6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”( Q.S.at-Tahrim/66:6
E. Bagaimanakah Konsep Anak Shaleh Menurut Pandangan
Agama Islam
Menurut Islam anak shaleh adalah anak yang memiliki
sikap keagamaan yang baik, dan selalu patuh dan taat dalam menjalankan perintah
Allah dan perintah kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, anak shaleh menjadi
dambaan setiap keluarga Muslim, karena ia menjadi jaminan kebahagian huidup
rumah tangga dan pewaris keturunan yang berkualitas. Dengan begitu, anak shaleh
merupakan profil anak yang dididik secara Islami demi kebahagian hidup didunia
dan diakhirat.
F. Peranan Aqidah Dalam Pembentukan Anak Shaleh
Karena pengenalan aqidah seorang anak telah ada
sejak dalam rahim, maka pembinaan aqidah anak itu lahir. Pembinaan tersebut
dilanjutkan ketika anak lahir dalam menjalani hidup. Orang tua tersebut menjadi
unsur yang menentukan dalam pembinaan aqidah anaknya. Dalam pada itu, aqidah
Islam memegang peranan penting dalam pembentukan anak shaleh. Sebab mantapnya
aqidah seorang anak akan menjamin ketaatannya dalm menjalankan perintah agama
dan berbaktinya kepada orang tuanya.
Pada bidang aqidah, meskipun anak usia dini
belum layak untuk diajak berpikir tentang hakikat Tuhan, malaikat, nabi
(rasul), kitab suci, hari akhir, dan qadha dan qadar, tetapi anak
usia dini sudah dapat diberi pendidikan awal tentang aqidah (rukun
Iman). Pendidikan awal tentang aqidah, bisa saja diberikan materi
yang berupa mengenal nama-nama Allah dan ciptaan-Nya yang ada di sekitar
kehidupan anak, nama-nama malaikat, kisah-kisah Nabi dan Rasul, dan materi
dasar lainnya yang berkaitan dengan aqidah (rukun Iman). Di antara yang
dapat dilakukan dalam memberi pendidikan aqidah kepada anak ialah dengan
cara mengazankan anak yang baru lahir, sebagaimana diperintahkan rasul dalam
sabdanya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي
أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ[12]
Artinya: Dari Abu Rafi’, ia berkata, “Aku melihat
Rasulullah SAW ażan sebagaimana ażan şalat, di telinga Husain bin Ali ketika
Fathimah melahirkannya”(R. at-Tirmiżi)
G.
Faktor-Faktor
Apa Saja Yang Dapat Menghambat Dan Menunjang Pembinaan Anak Shaleh
Adapun
faktor - faktor yang dapat menghambat dalam pembinaan anak shaleh terdiri dari faktor
intern yaitu lingkungan keluarga anak tersebut dimulai dari faktor orang tuanya
yang kurang memberi perhatian. Ayah dan ibunya tidak memiliki pengetahuan agama
yang baik dalam mendidik anak tersebut menjadi anak shaleh begitu pula anggota
keluarga yang lain tidak berusaha untuk membinanya secara Islami. faktor
ekstern, yaitu lingkungan masyarakat disekitarnya disebabkan oleh pengaruh
lingkungan social yang bobrok. Setiap saat anak tersebut selalu menyaksikan
model pergaulan bebas yang tidak Islami, sehingga dia sendiri akhirnya sulit
untuk menghindarkan diri dari lingkungan osialnya yang tidak baik itu.
Sebaliknya lingkungan keluarga dimulai dari orang tua yang shaleh, diiringi oleh
semua anggota keluarga dalam rumah tangga itu yang taat dalam menjalankan
agamanya menjadi faktor yang menunjang bagi pembinaan anak shaleh. Dalam pada
itu, anak tersebut hidup dalam masyarakat religius dan bermoral tinggi menjadi
pula faktor yang menentukan pula dalam pembinaan anak shaleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar